MENEMUI INDONESIA PADA BATU

by INDONESIA98

INDONESIA98.COM (JAKARTA):

Oleh: Farkhan Evendi S.Fil, M.AP (Ketua Umum Bintang Muda Indonesia)

Di penghujung tahun 2018 sempat seorang sahabat bertanya melalui chat wa tentang Indonesia. “Kamu sudah lama toh berada dalam lingkar aktivisme, Indonesia ya gini-gini saja.

Terus gimana menurutmu cara mengubah Indonesiamenjadi lebih baik?”, acungnya bertanya padaku.

Saat itu aku tidak dapat memberi jawaban apa-apa. Hanya hhhmmm.. yang mampu kutuliskan untuk merespons pertanyaannya tadi.

Ada dua alasan mengapa aku merespons demikian. Pertama, aku jelas bukanlah Tan Malaka, Tirto Adhi Soerjo, Haji Misbach, Marco Kartodikromo, Samaun, HOS Tjokroaminoto, Haji Samanhudi, Ki Hajar Dewantoro, Dr. Soetomo, Kasman Singodimedjo, Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, H.M Yamin, SM Kartosoewirjo, Sutan Syahrir, Syafruddin Prawiranegara, Muhammad Natsir, Mohammad Roem, Haji Agus Salim hingga Jenderal Soedirman.

Aku juga jelas bukan Lafran Pane, DN Aidit, Sukarni, Adam Malik, Sumitro Djojohadikusumo, Jendral Gatot Subroto dan Jendral AH Nasution. Aku pun jelas bukan Arief Rahman Hakim, Ahmad Wahib, Soe Hok Gie, Letjen Ahmad Tirtosudiro, Sulastomo, Nurcholish Madjid, Adnan Buyung Nasution, Hariman Siregar, Emha Ainun Nadjib, WS Rendra, Goenawan Muhammad, Soe Hok Bien (Arief Budiman), Abdurrahman Wahid, Akbar Tanjung, Amien Rais, Mahbub Djunaidi, Roem Topatimasang, Mansour Fakih, BJ. Habibie, Jendral Soeharto, Jendral Sarwo Edhie Wibowo dan Jendral M. Jusuf.

Aku pasti juga bukan Anas Urbaningrum, Wiji Thukul, John Tobing, Pius Lustrilanang, Moses Gatotkaca, Budiman Sudjatmiko, Andi Arief dan sebagainya.

Daftar nama para tokoh-tokoh ini dapat saja kuperpanjang. Namun apa pula gunanya. Toh, aku bukanlah mereka. Mereka adalah siapa yang telah berbuat apa-apa. Sementara aku, siapa saja belum apakah lagi berbuat apa. Belum secuil pun..

Kedua, sementara aku yang siapa saja belum berbuat apa ini, jangankan mikirin bagaimana cara mengubah Indonesia, membuat agar hidung sendiri tidak ada upil di dalam lubangnya saja belum mampu.

Itu baru upil, belum uban, belum kuku, belum lagi rambut di kepala, di ketiak dan diselangkangan. Aku tak juga dapat menahan laju tumbuhnya dengan cara apapun.

Paling banter cuma memangkas serta mencukur. Tidak lebih tidak kurang.

Lantas apakah ini soal aku. Tentu saja tidak. Cara mengubah Indonesia merupakan persoalan yang engkau, kamu, kau, dia, mereka, kami dan kita lakoni.

Sehari-hari selalu diperbincangkan. Dibicarakan orang dari warung kopi hingga balkon istana. Dibaca orang lewat sepotong koran bekas sampai selarik gawai yang menampil berita.

Dipersengketa orang dari kubu yang tengah berkuasa hingga kubu yang akan berkuasa. Didatai orang dari lembaga survey ternama sampai lembaga abal-abal lainnya.

Ya, hampir semua orang kasak kusuk sibuk membahas cara mengubah Indonesia yang dipertautkan dengan realita keseharian yang dihadapinya masing-masing.

Meski demikian, aku tidaklah termasuk di dalamnya.

Aku bukanlah orang yang pasti berteriak lantang tentang bagaimana cara mengubah Indonesia. Kendati bertahun-tahun “pernah eksis” dalam lingkar aktivisme, namun sekedar punya nyali untuk mengubahnya tak sedikitpun kumiliki.

Ada dua sebab yang mendasari serta harus didudukkan perkaranya. Pertama, apakah Indonesia itu organisme ataukah organisasi?

Untuk menjawab ini sangatlah tidak mudah. Lebih-lebih bila yang meresponsnya masih menyediakan godaan kepentingan di ruang hatinya masing-masing.

Kedua, apakah setiap yang ada di dunia ini merupakan “hasil kreasi” yang pasti ada “kreator”nya?

Kalau boleh jujur, semestinya sebab yang kedua ini posisinya adalah yang utama, bukan yang kedua.

Cuma karena saat ini banyak orang tidak berhasil memperjodohkan antara kepastian keberadaan “Sang Khaliq” dengan kehadiran kebersejarahan manusia di muka bumi, maka opsi ini dianggap ambyar relevansinya.

Sejak kecil orang tuaku selalu bilang, “kenalilah apa saja yang kau temui, sebab yang kita cari adalah Yang Sejati.

Nah, dengan mengenalinya mudah-mudahan kau dapat menemui Yang Sejati”. Kebodohan memang telah lama menghinggapi diriku sehingga untuk mencerna kata-kata orang tuaku tadi baru 10 tahunan ini dapat kuresapi.

Ternyata mengenali itu merupakan usaha belajar mempelajari. Misalnya, sewaktu masih bocah kita ketemu sungai, lazimnya kita pasti senang bersama teman-teman berenang di dalam alirannya.

Apakah tidak khawatir hanyut? Tentu saja ada. Maka bagi yang belum pandai berenang biasanya akan mencari pohon pisang untuk ditebang, lalu dijadikan semacam pelampung atau rakit yang dapat ditumpangi.

Asalkan tidak hanyut yang berakibat celaka, itu sudah cukup menjadi alasan untuk menyiasati derasnya aliran sungai.

Rentetan pengalaman “mandi sungai” bersama teman-teman ketika masih bocah itulah yang kusebut sebagai usaha belajar mempelajari.

Kembali ke pertanyaan yang diajukan oleh seorang sahabat yang kukemukakan di awal tulisan ini. Jujur aku telah berbohong kepadanya.

Sesungguhnya aku tidak hanya bisa sekedar menjawab, hhhmmm… Aku juga dapat merespons lebih daripada itu.

Cuma apakah mungkin aku menjelaskan kepadanya bahwa persoalannya bukan pada bagaimana cara mengubah Indonesia, melainkan pada bagaimana Indonesia dapat diubah.

Aku pun tidak sampai hati untuk mengatakan kepadanya, “cobalah sesekali kau temui batu-batu yang ada di tepian pantai, di pinggiran sungai, di pematang sawah, di tebing-tebing terjal perbukitan dan pegunungan, mana tahu kau akan bertemu dengan Indonesia.

Lantas tanyakan kepada batu, apakah yang begini ini Indonesia?”

Jumat, Desember 2020

Baca Juga